Senin, 15 Oktober 2012

“Para Dewa menurut Immanuel Kant”



REFLEKSI KULIAH 5 FILSAFAT ILMU
Endah Tri Mulyaningsih, S.Si /12708251067
PSN Kelas D 2012

“Para Dewa menurut Immanuel Kant”

            Dewa bersifat transendens. Semua pembicaraan, sikap dan perilaku dewa adalah transendens. Guru merupakan dewa bagi muridnya, orangtua merupakan dewa bagi anaknya, anggota kabinet merupakan dewa bagi rakyatnya, koruptorpun dewa bagi rakyat, kita juga merupakan dewa bagi baju kita.
            Dewa memiliki dimensi yang berbeda bagi hambanya, untuk itu jika hamba ingin mengerti dewanya, maka harus memahami bahasa dewanya. Begitu juga dengan dewa, jika ingin memahami hambanya juga harus memahami bahasa hambanya. Misalnya guru ingin memahami siswanya, maka guru harus bisa bahasa siswa, memahami pikiran dan perasaan siswa. Dalam komunikasi antara guru dan siswa harus tercipta suatu interaksi yang baik dan nyaman, sehingga dalam proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.
            Filsafat dapat membantu seseorang dalam memahami pikiran, bahasa dan perilaku para dewa. Dalam bukunya “The Critique of Pure Reason”, Immanuel Kant membahas tentang cara manusia berpikir, tentang asal usul terbentuknya konsep, dan tentang struktur jiwa manusia. Menurutnya kesemuanya itu adalah pembicaraan metafisika akal murni. Menurutnya, pengalaman hanya mengatakan kepada kita apa-nya dan bukan apa ia sesungguhnya.
            Dalam filosofi Transendental, Immanuel Kant menjelaskan bahwa jiwa bersifat inheren. Menurutnya, ada pengetahuan yang transenden, yaitu pengetahuan yang tidak banyak berisi objek, akan tetapi lebih banyak berisi konsep objek yang a-priori. Lebih lanjut, Kant menjelaskan proses masuknya pengetahuan a-priori ini dengan istilah estetika transenden dimana proses mengkoordinasikan sensasi-sensasi dengan acuan persepsi ruang dan waktu dan logika transenden, dimana mengkoordnasi persepsi-persepsi yang sudah masuk dalam konsep ruang dan waktu dengan memasukkannya dalam kategori pemikiran.



Pertanyaan :
1.      Jika dalam komunikasi dewa dan hambanya, sebelumnya tidak belajar filsafat, maka apakah akan terjalin komunikasi yang baik? Misalnya siswa SD yang belum belajar filsafat apakah mampu dengan baik mempelajari bahasa guru? Ataukah harus guru yang memahami dulu bahasa siswa?
2.      Apa arti transenden? Kenapa apa-apa yang dilakukan dewa selalu diikuti dengan kata transendens?
3.      Apa yang dimaksud dengan jiwa yang bersifat inheren?

Senin, 08 Oktober 2012

“ DALAM FILSAFAT ADA ORANG SEPERTI MAYAT YANG BERJALAN”



REFLEKSI KULIAH 4 FILSAFAT ILMU
Endah Tri Mulyaningsih, S.Si /12708251067
PSN Kelas D 2012

“ DALAM FILSAFAT ADA ORANG SEPERTI MAYAT YANG BERJALAN”

            Hakikat filsafat adalah pikiran. Berfilsafat berarti berpikir, merefleksikan hasil pemikiran dan pengalaman, terus berpikir dan merefleksikan itulah kuncinya. Dari kegiatan tersebut akan membuat manusia terus berpikir segala hal yang diketahuinya atau yang mungkin akan diketahuinya.
            Yang dapat saya pahami dari penjelasan di atas adalah sebagai manusia yang memiliki pikiran seharusnya selalu berpikir, apalagi jika kita menjadi seorang akademisi, harus lebih mengasah pikiran untuk menemukan dan mengetahui ilmu pengetahuan dengan cara menciptakan teori. Disinilah puncak ilmu pengetahuan, itulah Filsafat.
            Semua orang dapat berfilsafat kalau orang tersebut mau berpikir. Memikirkan sesuatu akan memberikan pengalaman tersendiri. Mengalami sesuatu peristiwa juga merupakan pengalaman. Memikirkan apa yang mungkin ada/ yang mungkin akan kita ketahui selalu membuat penasaran sehingga kita terus berpikir untuk mencari tahu jawaban dari rasa penasaran/pertanyaan yang telah kita temukan.
            Dalam mencari jawaban dari pertanyaan yang telah kita temukan, kadang kita menemui sesuatu yang menghambat. Sesuatu itu mungkin saja berkaitan dengan hati atau Tuhan yang kadang jika kita memikirkannya hanya kebingungan saja yang kita dapati. Untuk itu dalam pengembaraan pikiran hendaknya selalu ingat bahwa urusan Tuhan adalah urusan hati. Ada sebagian urusan hati yang mampu dipikirkan oleh pikiran/logika, tapi sebagian lagi logika kita tidak mampu memikirkannya. Apabila kita sudah mulai memikirkan yang sebagian itu, hendaknya kita kembali ingat bahwa hati dan Tuhan ada diatas pikiran, dengan kata lain ada diatas filsafat. Hendaknya segera cepat berdoa memohon ampun jika kita melakukannya.
            Saya masih sangat ingat kata-kata Pak Dr. Marsigit, MA dalam kuliah saya yang pertama “Tetapkanlah hatiku sebagai komandan dalam pengembaraan pikiranmu”. Hal tersebut harus selalu diingat agar setelah mengembara, pikiran kita dapat kembali dan tidak lupa diri.
            Orang yang tidak mau berpikir dan merefleksikan apa yang dia pikirkan atau dia alami dapat dikatakan seperti mayat yang berjalan dalam konteks filsafat. Orang yang tidak mau berpikir seperti robot yang berjalan mengikuti kemauan dan pikiran orang lain. Menerima saja apa yang dikatakan oleh orang lain tanpa merefleksikan kepada dirinya sendiri.
            Merugilah orang yang seperti mayat berjalan tersebut, orang tersebut mungkin “lupa“ bahwa manusia memiliki potensi pikiran yang Tuhan berikan sebagai anugerah sehingga kita mampu bermanfaat bagi orang lain memalui pikiran kita.
            Semoga kita selalu ingat hal tersebut. Amin.

Pertanyaan :
1.      Bagaimana dengan orang yang tidak mau berpikir karena dia merasa bodoh akibat dia tidak sekolah? Apakah dia tergolong mayat berjalan juga?
2.      Jika kita lupa dan menjadi mayat berjalan karena kesibukan dan rutinitas, bagaimana cara untuk kembali “hidup” dalam konteks filsafat?

Senin, 01 Oktober 2012

SEJARAH PERKEMBANGAN ALIRAN FILSAFAT ILMU



TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT ILMU
Dosen Pengampu : Dr. Marsigit, MA




SEJARAH PERKEMBANGAN ALIRAN
FILSAFAT ILMU
 



Oleh:
Endah Tri Mulyaningsih
12708251067
PSn kelas D 2012




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012




Kata Pengantar




Assalamu’alaikum Wr. Wb..

Puji syukur kita panjatkan kepada Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya kepada kita sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah Perkembangan Aliran Filsafat Ilmu”.
Disusunnya makalah ini sebagai tugas mata kuliah Filsafat Ilmu serta sebagai upaya saya untuk mempelajari tentang Sejarah Perkembangan Aliran Filsafat Ilmu.
Makalah ini masih belum sempurna, sehingga saya sebagai penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini, sehingga pemahaman saya dan pembaca akan materi menjadi semakin kaya.
Demikian semoga makalah ini bermanfaat. Terimakasih.


Wassalamu’alaikum Wr. Wb..

Yogyakarta, 30 September 2012


Penulis








Daftar Isi


Halaman Judul …………………………………………………………….. 1
Kata Pengantar …………………………………………………………….. 2
Daftar Isi …………………………………………………………….. ……  3
Bab I Pendahuluan ………………………………………………………… 4
Bab II Isi …………………………………………………………..……….. 5
Bab III Penutup ……………………………………………………………. 11
Daftar Pustaka ………………………………………………..…………… 12






BAB I
PENDAHULUAN

Filsafat merupakan studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep yang mendasar.  Sedangkan, filsafat ilmu yang merupakan penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara memperolehnya. Filsafat ilmu sendiri telah berkembang seiring perkembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Sejarah filsafat ilmu hingga kini merupakan perjalanan yang sangat panjang sehingga terbagi dalam berbagai era/zaman. Kajian tentang sejarah perkembangan aliran filsafat ilmu diharapkan dapat mengarahkan kita menerapkan penyelidikan kefilsafatan terhadap kegiatan ilmiah.
Makalah ini akan mendeskripsikan secara singkat sejarah perkembangan aliran filsafat ilmu. Uraian singkat tentang periode sejarah akan melewati dan mengungkap banyak tokoh, peristiwa dan fakta yang memungkinkan kita dapat memahami sejarah perkembanganaliran filsafat ilmu.




BAB II
ISI

            Perkembangan aliran filsafat ilmu terbagi menjadi 4 fase, yaitu :
1.      Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Renaisance.
2.      Filsafat Ilmu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivisme.
3.      Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas.
4.      Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang.

A.    Filsafat Ilmu Zaman Kuno
 Filsafat yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan berasal dari Yunani Kuno. Pemikir-pemikir (filosof) Yunani seperti Thales. Ananximandros dan Anaximenes merupakan pemikir pertama yang menjadi penanda munculnya filsafat. Filsafat dan ilmu merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Keduanya termasuk dalam pengertian episteme, yang oleh Aristoteles diartikan sebagai an organized body of rational knownlegde with its proper object. Dari pengertian tersebut, filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang rasional. Aristoteles membedakan pengetahuan rasional ini menjadi 3 bagian, yaitu pengetahuan teoritis, pengetahuan produktif dan pengetahuan praktis.
Pemikiran Aristoteles tersebut diatas memberikan gambaran bahwa ilmu pengetahuan pada masa zaman kuno didasarkan pada aspek-aspek realitas yang dapat dijangkau oleh pikiran. Kemudian, muncul pemikiran bahwa kegiatan ilmiah adalah kegiatan menyusun dan mengaitkan pengertian-pengertian secara logis. Karena pemikiran Aristoteles inilah, generasi selanjutnya memandang Aristoteles sebagai peletak dasar filsafat ilmu.
Aristoteles adalah peletak dasar ‘doktrin sillogisme’ yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran di Eropa sampai dengan munculnya Era Renaisance. Sillogisme adalah argumentasi dan cara penalaran yang terdiri dari tiga buah pernya-taan, yaitu  sebagai premis mayor, premis minor dan konklusi.

B.     Filsafat Ilmu Era Renaisence
Pada era Renaisance, pandangan Aristoteles mulai tergeser oleh metode dan pandangan yang baru terhadap alam yang disebut Copernican Revolution. Metode dan pandangan Copernican Revolution dipelopori oleh Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan Issac Newton (1642-1727). Para ahli ini mengadakan pengamatan ilmiah menggunakan metode eksperimen.
Pada abad XVII muncullah Roger Bacon (1561-1626) di zaman modern yang ditandai dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan. Roger Bacon berpendapat bahwa :
1.      ilmu harus bersifat kontemplatif. Ilmu berkembang untuk memperkuat kemampuan dan kesejahteraan manusia. Karena pandangan Roger inilah, pandangan Aristoteles benar-benar bergeser, sehingga Roger Bacon dianggap sebagai peletak dasar filosofis untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
2.      jiwa manusia yang berakal memiliki kemampuan triganda, yaitu ingatan, daya khayal dan akal. Ketiga aspek tersebut merupakan dasar segala pengetahuan. Ingatan menyangkut apa yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut keindahan dan akal menyangkut filsafat (philosophia) sebagai hasil kerja akal.
3.      logika sebagai pelopor perkembangan filsafat ilmu pengetahuan. Bacon menyusun logika meliputi empat macam keterampilan (ars) yaitu bidang penemuan (ars inveniendi), bidang perumusan kesimpulan secara tepat (ars iudicandi), bidang mempertahankan apa yang sudah dimengerti (ars retinendi), dan bidang pengajaran (ars tradendi).
Roger Bacon juga mengarang buku Novum Organon, yang mampu mempengaruhi filsafat di Inggris pada masa tersebut. Buku tersebut berisi tentang pengukuhan penerimaan teori empiris tentang penyelidikan dan tidak harus sepenuhnya bertumpu pada logika deduktif (pandangan Aristoteles).
Dalam perkembangan selanjutnya muncul John Locke (1632-1714) David Hume (1711-1776) dan Immanuel Kant (1724-1804). Ketiga filosof ini memberi pengaruh cukup besar terhadap perkembangan filsafat ilmu selanjutnya.
John Locke berpendapat bahwa seorang bayi yang baru lahir memiliki akal yang bersih seperti papan tulis yang kosong. Kemudian pengetahuan hanya berasal dari indera yang dibantu oleh pemikiran, ingatan dan perasaan indrawi. Locke mengakui adanya ide adalah bawaan (innate ideas). Dalam perkembangan pengetahuan teori Locke dikenal dengan istilah  teori tabula rasa.
Pada abad XIX muncullah ahli Johan Gottlieb Fichte (1762-1814) memperkenalkan filsafat Wissenchaftslehre atau Ajaran Ilmu Pengetahuan (Epistemologi). Ajaran atau pandangan ini adalah kesadaran tentang pengenalan diri yaitu metode dibidang pengetahuan itu sendiri.
Selanjutnya muncul William Whewel (1795-1866) yang menyetujui adanya intuisi yang menjadi titik pangkal induksi dalam ilmu alam. Auguste Comte (1798-1857) berpendapat sejak jaman teologis dan metafisis sudah tiba jaman ilmu positif (empiris) yang defenitif. Dalam hal ilmu positif Comte membedakan pengetahuan menjadi enam macam ilmu, dari yang paling abstrak: matematika, ilmu falak, fisika, kimia, ilmu hayat dan sosiologi. Matematika dipandang sebagai ilmu deduktif, sedangkan lima lainnya dalam keadaan ingin mendekati deduktif itu. Dalam hal ini Comte berusaha mengadakan kesatuan antara ilmu pasti dan ilmu empiris.


C.    Filsafat Ilmu Era Positivisme
Era positivisme adalah aliran dari filsafat yang ditandai dengan evaluasi terhadap ilmu dan metode ilmiah. Pada abad XX beberapa tokoh positivisme membentuk kelompok dengan nama Lingkaran Wina, tokoh-tokoh yang yaitu Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick. Lingkaran Wina mengembangkan aliran positivisme logis / neopositivisme dan empirisme logis. Munculnya aliran tersebut dikarenakan 3 hal, yaitu empirisme dan positivisme, metodologi ilmu empiris dan perkembangan logika simbolik dan analisa logis.
Aliran ini juga berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan, yaitu pengalaman indrawi. Selain itu juga mengakui adanya pemikiran logika dan matematika yang dihasilkan melalui pengalaman. Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya.
Tugas filsafat ialah menjalankan analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat cenderung bersifat Logosentrisme.

D.    Filsafat Ilmu Kontemporer
Tokoh dalam era ini adalah Karl Raymund Popper (1902-1959), yang kehadirannya berada pada masa transisi menuju zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Munculnya Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru disebabkan oleh adanya teori falsifikasi yang mampu menumbangkan aliran positivisme logis dari Lingkaran Wina, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak perhatian besar terhadap sejarah ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme.
Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak dari gagasan-gagasannya yang banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan). Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada benda yang benda seperti yang ditemukan Einstein, tetapi juga terhadap historitas filsafat ilmu sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi. Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara revolusioner.
Salah seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina, Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya yang sangat menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan kepadanya yang mengundang banyak diskusi dan perdebatan pada era 1970-an.
Dalam Against method, ia menyatakan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak bisa diterangkan ataupun diatur segala macam aturan dan sistem maupun hukum. Perkembangan ilmu terjadi karena kreatifitas individual, maka satu-satunya prinsip yang tidak menghambat kemajuan ilmu pengetahuan ialah anything goes (apa saja boleh).
Menurut Feyerabend, dewasa ini ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama dengan posisi pada abad pertengahan. Ilmu pengetahuan tidak lagi berfungsi membebaskan manusia, namun justru menguasai dan memperbudak manusia. Oleh karenanya Feyerabend menekankan kebebasan individu.
Dalam tahap perkembangan selanjutnya muncul Institut Penyelidikan Sosial di Frankfurt, Jerman, yang dipelopori oleh Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969), Erich Fromm (1900-1980) dan Herbert Marcuse (1898-1979). Mereka memperbaharui dan memperdalam masalah teoritis dan falsafi mengenai cara kerja dan kedudukan ilmu-ilmu sosial.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam perkembangannya filsafat ilmu dibagi dalam 4 era, yaitu era kuno, renaissance, positivism dan kontemporer. Dalam tiap era/zaman filsafat ilmu memiliki karakteristik pemikiran dan tokoh-tokoh yang mengembangkan pemikiran tersebut.

B.     Saran
Dalam mempelajari filsafat ilmu hendaknya memahami semua era sehingga memperoleh pemahaman yang menyeluruh.




 DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2011. Pengertian Filsafat, Cabang-cabang Filsafat dan Aliran-aliran
Filsafat. http://peta-ilmu.blogspot.com/2011/03/pengertian-filsafat-cabag-cabang.html (diakses tanggal 30 September 2012)
Hatmanto, Endro Dwi dan Jati Suryanto. 2010. Macam-macam Aliran Filsafat ilmu. http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87 (diakses tanggal 30 September 2012).
Suriasumantri, J.S. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Langaji, Abbas. 1998. Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu. (diakses tanggal 30 September 2012)