Makalah Dibuat Dalam Rangka
Melengkapi Tugas-tugas
Perkuliahan Filsafat Ilmu dari
Dr. Marsigit, M.A.,
Tahun 2012/2013
“Konstruktivisme
Dalam Pembelajaran”
Disusun oleh:
Endah Tri Mulyaningsih, S.Si
12708251067
Kelas D Pendidikan Sains 2012
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
Daftar
Isi
Halaman Judul ………………………………………………………...………
1
Daftar Isi ……………………………………………………………………… 2
Bab I Pendahuluan
……………………………………………………………. 3
Bab II Isi ……………………………………………………………………… 5
A.
Aliran Filsafat Konstruktivisme
………………………………………. .......... 5
a) Pengertian
Konstruktivisme …………………………………...…. 5
b) Macam-macam
Konstruktivisme ……………………………….... 5
B.
Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
………………………………............ 7
a) Peran
Guru ………………………………………………..……... 10
b) Metode
Pembelajaran ……………………………………..…….. 11
Bab III Penutup
……………………………………………………...………. 12
A.
Kesimpulan …………………………………………………………..........… 12
B.
Daftar Pustaka ……………………………………………………….............
12
Bab
I
Pendahuluan
Filsafat merupakan
studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis
dan dijabarkan dalam konsep yang mendasar. Istilah Filsafat sendiri dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu segi sematik dan segi praktis. Dalam segi
sematik, filsafat berasal dari bahasa Arah yaitu “Falsafah” dan berasal dari
bahasa Yunani yaitu “Philosophia”, philos = cinta, suka dan shopia =
pengetahuan, hikmah. Sehingga arti philosophia menjadi cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Sedangkan dari segi praktis,
filsafat dapat diartikan sebagai alam pikiran/berpikir. Berfilsafat berarti
berpikir, namun tidak setiap berpikir merupakan filsafat, berfilsafat harus
berpikir secara mendalam dan bersungguh-sungguh terhadap obyek yang dipikirkan
(Liza, 2006:2).
Filsafat ilmu berarti
penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah, bagaimana cara memperoleh
pengetahuan tersebut secara benar dan bagaimana kegunaan pengetahuan tersebut.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi yang secara spesifik mengkaji
hakikat ilmu (Suriasumantri, 2009:33). Filsafat ilmu berkembang dari masa ke
masa sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta realitas
sosial.
Aliran filsafat berkembang
dari masa ke masa, mulai dari aliran seperti rasionalisme, empirisme,
kritisisme, positivisme sampai pada aliran-aliran modern seperti
konstruktivisme. Dalam makalah ini akan lebih banyak mengulas tentang tentang
aliran filsafat konstruktivisme. Penulis ingin membahas lebih dalam aliran tersebut
sebagai bekal dimasa mendatang ketika akan mengaplikasikan ilmu pembelajaran
kepada siswa.
Penulis beranggapan
bahwa aliran konstruktivisme cocok diterapkan dalam dunia pendidikan karena tidak
hanya menekankan pada hasil tetapi juga menitikberatkan pada proses
pembelajaran siswa. Proses pembelajaran akan memberikan pengalaman belajar yang
cukup sehingga siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri. Interaksi
dengan lingkungan belajar akan menambah kekayaan pengetahuan, pengalaman serta
sosialnya.
Bab
II
Isi
A. Aliran Filsafat Konstruktivisme
a) Pengertian
Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang
pertama kali dikemukaan oleh sejarawan Italia yang bernama Giambatista Vico
pada tahun 1710. Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah
hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena dan
lingkungan. Pengertian tersebut sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005:70)
dalam Adisusilo (2006:1), bahwa konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan
pengetahuan dan rekonstruksi pengetahuan. Rekonstruksi pengetahuan adalah
mengubah pengetahuan yang dimiliki sebelumnya setelah berinteraksi dengan
lingkungannya.
Supardan (2004:1) mendefinisikan konstruktivisme
sebagai suatu filosofi yang berpendapat bahwa pengetahuan sebagai sesuatu hal
yang dengan aktif menerima melalui pikiran dan komunikasi. Pandangan ini
bertolak belakang dengan kaum objektivisme, yang beranggapan pengetahuan adalah
stabil sebab kekayaan esensial obyek pengetahuan dan secara relative tidak
berubah-ubah.
b) Macam-macam
Konstruktivisme
Konstruktivisme dibedakan dalam 2 kelompok besar
menurut Piaget (1981:43) dalam Adisusilo (2006:2), yaitu konstruktivisme
psikologis (personal) dan sosial. Konstruktivisme psikologis (personal)
menyatakan bahwa individu dapat mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi
dengan pengalaman dan obyek yang sedang dihadapi. Dalam mengkonstruksikan
pengetahuannya inilah seorang individu mampu mengabstraksi baik secara
sederhana maupun secara refleksif.
Dalam proses pembentukan pengetahuan, manusia
melakukan proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi yang dimaksudkan
adalah proses kognitif dimana seseorang dapat mengintegrasikan persepsi,
konsep, nilai ataupun pengalaman baru ke dalam skema yang ada di pikirannya.
Secara sederhana, asimilasi merupakan proses menempatkan dan mengklasifikasikan
pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya. Proses
ini berlangsung secara terus menerus dan sifatnya individual.
Akomodasi terjadi jika sesorang tidak dapat
mengasimilasi pengetahuan baru yang didapat dengan skema yang ada dalam
pikiran. Akomodasi merupakan pembentukan skema baru dan memodifikasi skema
sehingga pengetahuan baru menjadi memiliki tempat dalam skema pikiran. Misalnya
jika seorang anak mengetahui bahwa semua daun berwarna hijau, kemudian dia
mendapatkan pengetahuan baru yaitu ada daun yang berwarna merah atau kuning,
pengetahuan tersebut tidak cocok dengan pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya, sehingga anak tersebut melakukan modifikasi atas pengetahuan yang
dimiliki.
Skema-skema yang ada dalam pikiran merupakan proses
konstruksi yang terus-menerus berproses baik bertambah ataupun terjadi
modifikasi. Walaupun proses tersebut personal, namun tetap terdapat peran
lingkungan dalam prosesnya, namun lingkungan hanya sebagai input, proses tetap
dilakukan secara individu.
Menurut Suparno (1997:42) konstruktivisme psikologis
atau personal memiliki kelemahan, yaitu pengetahuan hanya ada di dalam pikiran
seseorang dimana harus dibangun berdasarkan pengalaman pribadinya. Kelemahan
ini menjadikan konstruktivisme psikologis cenderung kearah solipsisme, yaitu
segala sesuatu hanya ada dipikiran atau dipikirkan.
Kelompok kedua dari macam-macam konstruktivisme
adalah konstruktivisme sosial. Konstruktivisme sosial berpendapat bahwa
pengetahuan disamping dibangun secara individu, juga ditentukan oleh kelompok dimana
individu tersebut berada. Melalui komunikasi dengan kelompok/ lingkungan/
komunitasnya, pengetahuan seseorang disampaikan kepada orang lain sehingga
mengalami verifikasi dan penyempurnaan (Suparno, 1997:44).
Dalam dunia pendidikan kedua kelompok konstruktivisme
ini akan digunakan, dimana individu melakukan proses konstruksi pengetahuannya
secara individu dan juga berinteraksi dengan komunitasnya. Namun,
konstruktivisme sosiallah yang lebih banyak berperan dalam pendidikan. Dalam
dunia ilmu pengetahuanpun, pengetahuan yang didapat harus disampaikan kepada orang
lain untuk mendapatkan verifikasi dan validitas, sehingga ilmu dapat diakui.
B. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
Teori konstruktivisme menyatakan bahwa dalam proses
pembelajaran peserta didik harus aktif membangun pengetahuan di dalam pikirannya.
Peserta didik yang pasif akan kesulitan untuk membangun pengetahuan dalam
pikirannya sekalipun telah diberikan oleh guru. Karena anggapan inilah, dalam
pembelajaran peserta didik bertanggungjawab atas proses belajar yang
dilakukannya. Guru hanya berperan dalam memotivasi peserta didik untuk memiliki
inisiatif dan ketertarikan atas obyek yang dipelajari peserta didik.
Aliran konstruktivisme sangat menghargai apa yang
ada di dalam pikiran peserta didik sebelumnya. Pengetahuan seperti apa yang
dimiliki peserta didik sebelum memasuki lingkungan belajar sangat
diperhitungkan oleh guru. Guru juga akan memperhitungkan strategi dan metode
apa yang cocok digunakan untuk menambahkan pengetahuan baru kepada peserta
didik.
Pembelajaran yang sesuai dengan aliran
konstruktivisme adalah pembelajaran yang memberikan pengalaman langsung
sehingga peserta didik berinteraksi secara langsung dengan obyek yang
dipelajari (minimal replikanya atau modelnya). Dengan mengamati obyek
pembelajaran, peserta didik memiliki pendapat yang jika berlainan dengan
pengetahuan sebelumnya, maka akan terjadi disequilibrium.
Menurut Adisusilo (2006:5) disequilibrium adalah goyahnya struktur pengetahuan peserta didik
akibat mendapatkan pengetahuan baru yang tidak sesuai dengan pengetahuan
sebelumnya. Hal ini akan memaksa peserta didik untuk merekonstruksi
pengetahuannya menjadi skema yang lebih baik. Demikianlah seterusnya,
skema-skema akan dimodifikasi dan terbentuk dalam proses pembelajaran.
Dalam proses memperoleh pengetahuan diperlukan juga
kemampuan mengingat pengalaman, membandingkan dan mengambil keputusan. Kemampuan
mengingat erat hubungannya dengan proses asimilasi. Jika ingatan terganggu maka
proses menempatkan dan mengklasifikasikan pengetahuan baru menjadi terganggu.
Membandingkan dan mengambil keputusan berhubungan dengan proses akomodasi.
Gagasan ringkas mengenai konstruktivisme dapat
dinyatakan dalam beberapa poin, yaitu:
1) Pengetahuan
bukan hanya gambaran kenyataan tentang obyek namun merupakan konstruksi
kenyataan melalui kegiatan subyek.
2) Subyek
membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur untuk pengetahuan.
3) Pengetahuan
dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi akan membenruk
pengetahuan bila berhadapan dengan pengalaman (Suparno, 1997:21).
Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa
pengetahuan diperoleh melalui konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan
terhadap realitas yang dihadapi dan bukan merupakan akumulasi informasi.
Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah bahwa guru tidak dapat secara
langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila
peserta didik berhadapan langsung dengan objek belajar. Pengetahuan diperoleh
oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut.
Dengan demikian tugas guru dalam proses pembelajaran adalah menyediakan objek
pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan
pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret
(nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dll) untuk dijadikan objek pemaknaan.
Kaum konstruktivis juga berpendapat bahwa
pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang
telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan
aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar
maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan
kognitif, psikomotorik maupun afektif peserta didik. Atas dasar pemahamannya
pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang anak untuk
berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru.
Terkait dengan kedua hal di atas, maka dalam proses
pembelajaran seorang guru harus menciptakan pengalaman yang autentik dan alami
secara sosial kultural untuk para peserta didiknya. Materi pembelajaran harus
kontekstual, relevan dan diambil dari pengalaman sosial budaya di sekitar
peserta didik berada. Guru tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak
terkait dengan kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan
penolakan atau menimbulkan kebosanan atau akan menghambat proses perkembangan
pengetahuan peserta didik.
Dalam proses pembelajaran guru harus memberi otonomi
atau kebebasan kepada peserta didik untuk melakukan eksplorasi masalah dan
pemecahannya secara individual dan kolektif, sehingga daya pikirnya dirangsang
untuk secara optimal dapat aktif membentuk pengetahuan dan pemaknaan yang baru.
Pendidik dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif
tingkat tinggi seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi
dan menyimpulkan.
Guru merancang tugas yang mendorong peserta didik
untuk mencari pemecahan masalah secara individual dan kolektif sehingga
meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan
rasa tanggungjaawab pribadi.
Dalam proses pembelajaran, guru harus memberi
peluang seluas-luasnya agar terjadi proses dialogis antara sesama peserta
didik, dan antara peserta didik dengan guru, sehingga semua pihak merasa
bertanggung jawab bahwa pembentukan pengetahuan adalah tanggungjawab bersama.
Caranya dengan memberikan pertanyaan, tugas yang terkait dengan topik tertentu,
yang harus dipecahkan, didalami secara individual ataupun kolektif, kemudian
diskusi kelompok, menulis, dialog dan presentasi di depan teman yang lain.
a) Peran
Guru
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang guru
mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses
belajar peserta didik berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada
peserta didik yang belajar dan bukan pada pendidik yang mengajar. Fungsi
sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas
antara lain sebagai berikut (Suparno, 1997: 65-66):
1) Menyediakan
pengalaman belajar, yang memungkinkan peserta didik ikut bertanggungjawab dalam
membuat design, proses dan penelitian. Maka menjadi jelas bahwa mengajar model
ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
2) Guru
menyediakan pertanyaan atau memberikan kegiatan yang mampu merangsang
keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari, membentuk
pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan
mengkomunikasikan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir
peserta didik secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang
mendukung belajar peserta didik. Guru hendaknya menyemangati peserta didik dan
bukannya sebaliknya. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik. Pengalaman
konflik ini dapat berwujud pengalaman anomali yang bertentangan dengan
pemikiran atau pengalaman awal peserta didik. Pengalaman seperti ini akan
menantang peserta didik untuk berpikir mendalam.
3) Memonitor,
mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau
tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik
berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Guru membantu
dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik.
Yang perlu diperhatikan dari guru jika menganut
pagam konstruktivis ini adalah membiarkan peserta didik menemukan sendiri cara
pemecahan masalah yang dihadapi (Adisusilo, 2006:14). Terkadang peserta didik
menempuh cara yang kurang rasional dantidak efektif. Guru tidak boleh langsung
menyalahkan, tetapi mencoba memberikan atau memberikan stimulus untuk peserta
didiknya agar mengetahui alternatif lain cara pemecahan masalah yang dihadapi.
Dengan demikian, ada proses menemukan sendiri jawaban yang sedang dicari. Hal
tersebut merupakan pengalaman yang baik untuk bekal ke depan dalam memecahkan
permasalahan.
Guru juga dituntut untuk mengetahui banyak hal,
sehingga pembelajaran sepanjang masa sangat cocok untuk paham konstruktivisme.
Dalam proses penemuan solusi pemecahan, peserta sering kali bertanya banyak hal
karena memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Guru dituntut untuk mampu mencari
jawaban-jawaban dari pertanyaan peserta didik.
b) Metode
Pembelajaran
Konstruktivisme tidak hanya berpengaruh kepada model
dan metode pembelajaran di kelas, namun juga mempengaruhi kurikulum sampai
kepada evaluasi pembelajran. Kurikulum yang menganut paham konstruktivisme akan
menyajikan pelajaran dengan utuh (holistik) dengan sangat memperhatikan proses
dan hasil (Adisusilo, 2006:15). Termasuk penilaian hasil belajar peserta didik,
guru harus juga melakukan penilaian proses, dapat digunakan semacam portofolio
kumpulan karya peserta didik. Tidak seperti penilaian yang telah lalu, guru
hanya menitik beratkan pada hasil, itupun ranah kognitif saja.
Guru yang telah memahami bagaimana pengetahuan
didapatkan peserta didik dan tugasnya dalam mendidik, maka guru dapat merancang
metode pembelajaran yang mampu memberikan pengalaman kepada peserta didik.
Dalam konstruktivisme, metode yang mampu menyediakan pengalaman belajar yang
baik antara lain metode tanya jawab, inkuiri dan komunitas belajar.
Metode tanya jawab dibutuhkan untuk mengukur sejauh
mana peserta didik mengenali materi pembelajaran yang akan dipelajari. Dengan
bertanya guru juga mampu memberikan motivasi dan rasa ingin tahu sehingga
peserta didik lebih antusias dalam belajar. Dibawah ini hal yang dapat
diperoleh dari guru dengan metode tanya jawab :
1) Menggali
informasi yang telah diketahui peserta didik
2) Mengecek
pemahaman peserta didik
3) Membangkitkan
motivasi dan respon peserta didik
4) Mengetahui
sejauh mana keinginan peserta didik dalam belajar
5) Memfokuskan
perhatian peserta didik
6) Membangkitkan
lebih banyak lagi pertanyaan dari peserta didik (Adisusilo, 2006:19)
Selanjutnya adalah metode inkuiri yang pada dasarnya
menggunakan pendekatan konstruktivistik, dimana setiap siswa sebagai subyek
belajar dibebaskan untuk menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan
interaksi antara pengetahuan yang telah diketahui dengan fenomena, ide atau
informasi baru yang didapatkan. Proses belajar tidak dapat memisahkan antara
aktivitas dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara
dialogis (Saliman, 2010).
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran dengan metode
inkuiri adalah merumuskan masalah, mengamati atau observasi, menganalisis dan
menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya
lainnya, serta mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca,
teman sekelas, guru, atau audien yang lain (Saliman, 2010).
Komunitas belajar atau biasa disebut dengan kelompok
belajar merupakan pembelajaran dengan mengandalkan kerjasama antara sekelompok
peserta didik. Kelompok belajar mampu menumbuhkan suasana kekeluargaan,
disiplin, saling membantu dan saling menghormati. Dalam konstruktivisme,
kelompok belajar peserta didik beranggotakan anak-anak yang heterogen, ada anak
berkemampuan tinggi dan ada yang rendah. Hal tersebut diharapkan ada kerjasama antara
anggota kelompok.
Dalam komunitas belajar ini, terdapat
langkah-langkah yang guru harus lakukan sehingga metode ini dapat berhasil
membelajarkan peserta didik. Langkah-langkah tersebut adalah:
1) Langkah
pertama, peserta didik didorong dan dimotivasi agar mengemukakan pengetahuan
yang dimilikinya. Hal ini dapat dilakukan dengan guru memberikan pertanyaan dan
peserta didik diberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan pendapatnya.
2) Langkah
kedua, guru memberikan permasalahan kepada peserta didik. Peserta didik diberi
kesempatan untuk menyelidiki dan berdiskusi mencari solusi dari permasalahan.
3) Langkah
ketiga, peserta didik diminta mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya
mengenai solusi apa yang diperoleh untuk memecahkan permasalahan. Guru dan
peserta didik yang lain menanggapi.
4) Langkah
keempat, guru mengkonfirmasi setiap jawaban dari peserta didik dan bersama-sama
menarik kesimpulan dari pembelajaran yang dilakukan.
Bab
III
Penutup
A.
Kesimpulan
Konstruktivisme dalam pembelajaran mempengaruhi dari
pembentukan kurikulum, perencanaan, pelaksanaan, penilaian hingga evaluasi
pembelajaran. Konstruktivisme sangat menitik beratkan tentang apa, dan
bagaimana peserta didik mengetahui pengetahuan. Peserta didik akan melakukan
rekonstruksi pengetahuan sebelumnya setelah mendapatkan pengetahuan baru yang
merupakan interaksi dengan lingkungan belajarnya. Selain mementingkan proses, konstruktivisme
juga mementingkan hasil yang di dapatkan oleh peserta didik.
B.
Daftar
Pustaka
Adisusilo, S.. 2006. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran.
www.veronikacloset.files.wordpress.com/konstruktivisme (diakses
tanggal 11 Januari 2013)
Liza. 2006. Pengantar Filsafat dan Ilmu. Makalah. Cirebon:
Program
Pasca Sarjana
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (diakses dari http://www.foxitsoftware.com
tanggal 11 Januari 2013)
Saliman.
2011. Pendekatan Inkuiri dalam
Pembelajaran. Penelitian.
Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta. (tersedia online
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Saliman,%20Drs.%20M.Pd./PENDEKATAN%20INKUIRI.pdf,
diakses tanggal 13 November 2012).
Suparno, P.
1997. Filsafat Konstruktivisme dalam
Pendidikan.
Yogyakarta:
Kanisius.
Supardan. 2004. Pendekatan Konstruktivisme Dalam
Pembelajaran
Sosiologi-Antropologi di Sekolah/Madrasah.
http://file.upi.edu/makalah_konstruktivisme (diakses tanggal 11 Januari 2013)
Suriasumantri,
J.S..2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer.
Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan