Selasa, 22 Januari 2013

Hermeneutics, Phenomenology dan Intuisi


REFLEKSI UAS FILSAFAT ILMU (PERTEMUAN KE 16)
(SELASA, 15 JANUARI 2013)
Endah Tri Mulyaningsih, S.Si /12708251067
PSN Kelas D 2012

Hermeneutics, Phenomenology dan Intuisi

Dalam pertemuan terakhir filsafat ilmu yaitu pertemuan UAS Dr. Marsigit mengulas kembali tentang Hermeneutics, Phenomenology dan Intuisi. Setelah menikuti kuliah dan mengerjakan takehome UAS filsafat, pemahaman saya tentang ketiga tersebut diatas semakin bertambah. Bukan bermaksud mengatakan paham atau jelas, karena hal semacam itu sama halnya dengan termakan mitos, hanya menguraikan bahwa pengetahuan saya tentang hal tersebut menjadi bertambah.
Hermeneutics merupakan aliran filsafat yang menggunakan teori interpretasi atau penafsiran. Secara sederhana penafsiran sama halnya dengan terjemah dan menterjemahkan. Lebih sederhana lagi terjemah dan menterjemahkan sama halnya dengan adanya interaksi. Dalam pembelajaran IPA ataupun pembelajaran pada umumnya tentu harus ada interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dalam lingkungan belajar. Adanya interaksi ini salah satunya dapat didukung dengan menggunakan metode inkuiri. Adanya interaksi akan memberikan pengalaman kepada siswa, bagaimana siswa melakukan menemukan permasalahan, mengadakan pengamatan, mengolah dan menyajikan data serta menarik kesimpulan.
Phenomenology adalah pendekatan filsafat yang dipergunakan untuk memahami berbagai gejala atau fenomena. Dalam pembelajaran IPA fenomenology merupakan pendekatan yang digunakan untuk mempelajari fenomena-fenomena alam yang terjadi. Penerapan phenomenology dalam pembelajaran IPA akan mengikutsertakan skeptisisme tanpa asumsi, metode reduksi dan abstraksi. Skeptisime adalah sikap meragukan tentang segala sesuatu sedangkan metode reduksi merupakan suatu metode berpikir yang membuang segala yang tidak perlu untuk fokus terhadap apa yang dipelajari dan abstraksi adalah metode berpikir untuk mencapai konsep yang universal dari suatu obyek.
Salah satu metode yang menerapkan phenomenology adalah metode inkuiri. Siswa dibimbing dan diberi motivasi sehingga rasa keingintahuannya muncul. Siswa mencari pengetahuan tentang fenomena yang terjadi tanpa asumsi dan fokus pada apa yang ingin diketahui. Metode abstraksi akan digunakan pada saat siswa menarik kesimpulan.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman dan kebiasaan sehingga tidak memerlukan penalaran. Intuisi didapatkan dengan pengalaman, sehingga guru harus memberikan kesempatan peserta didik untuk memperoleh pengalaman. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan intuisi peserta didik adalah metode pembelajaran inkuiri. Metode tersebut dapat memberikan pengalaman bagi peserta didik dari interaksi antara obyek dan subyek belajar.
Kesimpulan yang dapat saya peroleh adalah ternyata bahwa  metode inkuiri dalam pembelajaran IPA mampu menerapkan hermeneutics, fenomenology dan mengembangkan intuisi peserta didik.

Pertanyaan :
1.      Apa yang dimaksud bahwa intuisi akan berkembang menjadi kategori dan regulasi?
2.      Apakah intuisi hanya dapat diperoleh dari pengalaman?

Senin, 14 Januari 2013

Konstruktivisme Dalam Pembelajaran


Makalah Dibuat Dalam Rangka Melengkapi Tugas-tugas
Perkuliahan Filsafat Ilmu dari
Dr. Marsigit, M.A.,
Tahun 2012/2013

“Konstruktivisme Dalam Pembelajaran”





Disusun oleh:
Endah Tri Mulyaningsih, S.Si
12708251067
Kelas D Pendidikan Sains 2012


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013


Daftar Isi


Halaman Judul ………………………………………………………...……… 1
Daftar Isi ……………………………………………………………………… 2
Bab I Pendahuluan ……………………………………………………………. 3
Bab II Isi ……………………………………………………………………… 5
A.    Aliran Filsafat Konstruktivisme ………………………………………. .......... 5
a)      Pengertian Konstruktivisme …………………………………...…. 5
b)      Macam-macam Konstruktivisme ……………………………….... 5
B.     Konstruktivisme Dalam Pembelajaran ………………………………............  7
a)      Peran Guru ………………………………………………..……... 10
b)      Metode Pembelajaran ……………………………………..…….. 11
Bab III Penutup ……………………………………………………...………. 12
A.    Kesimpulan …………………………………………………………..........… 12
B.     Daftar Pustaka ………………………………………………………............. 12















Bab I
Pendahuluan

Filsafat merupakan studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep yang mendasar. Istilah Filsafat sendiri dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi sematik dan segi praktis. Dalam segi sematik, filsafat berasal dari bahasa Arah yaitu “Falsafah” dan berasal dari bahasa Yunani yaitu “Philosophia”, philos = cinta, suka dan shopia = pengetahuan, hikmah. Sehingga arti philosophia menjadi cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Sedangkan dari segi praktis, filsafat dapat diartikan sebagai alam pikiran/berpikir. Berfilsafat berarti berpikir, namun tidak setiap berpikir merupakan filsafat, berfilsafat harus berpikir secara mendalam dan bersungguh-sungguh terhadap obyek yang dipikirkan (Liza, 2006:2).
Filsafat ilmu berarti penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah, bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut secara benar dan bagaimana kegunaan pengetahuan tersebut. Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (Suriasumantri, 2009:33). Filsafat ilmu berkembang dari masa ke masa sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta realitas sosial.
Aliran filsafat berkembang dari masa ke masa, mulai dari aliran seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, positivisme sampai pada aliran-aliran modern seperti konstruktivisme. Dalam makalah ini akan lebih banyak mengulas tentang tentang aliran filsafat konstruktivisme. Penulis ingin membahas lebih dalam aliran tersebut sebagai bekal dimasa mendatang ketika akan mengaplikasikan ilmu pembelajaran kepada siswa.
Penulis beranggapan bahwa aliran konstruktivisme cocok diterapkan dalam dunia pendidikan karena tidak hanya menekankan pada hasil tetapi juga menitikberatkan pada proses pembelajaran siswa. Proses pembelajaran akan memberikan pengalaman belajar yang cukup sehingga siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri. Interaksi dengan lingkungan belajar akan menambah kekayaan pengetahuan, pengalaman serta sosialnya.

























Bab II
Isi

A.    Aliran Filsafat Konstruktivisme
a)      Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukaan oleh sejarawan Italia yang bernama Giambatista Vico pada tahun 1710. Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena dan lingkungan. Pengertian tersebut sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005:70) dalam Adisusilo (2006:1), bahwa konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan dan rekonstruksi pengetahuan. Rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki sebelumnya setelah berinteraksi dengan lingkungannya.
Supardan (2004:1) mendefinisikan konstruktivisme sebagai suatu filosofi yang berpendapat bahwa pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan aktif menerima melalui pikiran dan komunikasi. Pandangan ini bertolak belakang dengan kaum objektivisme, yang beranggapan pengetahuan adalah stabil sebab kekayaan esensial obyek pengetahuan dan secara relative tidak berubah-ubah.

b)      Macam-macam Konstruktivisme
Konstruktivisme dibedakan dalam 2 kelompok besar menurut Piaget (1981:43) dalam Adisusilo (2006:2), yaitu konstruktivisme psikologis (personal) dan sosial. Konstruktivisme psikologis (personal) menyatakan bahwa individu dapat mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi dengan pengalaman dan obyek yang sedang dihadapi. Dalam mengkonstruksikan pengetahuannya inilah seorang individu mampu mengabstraksi baik secara sederhana maupun secara refleksif.
Dalam proses pembentukan pengetahuan, manusia melakukan proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi yang dimaksudkan adalah proses kognitif dimana seseorang dapat mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai ataupun pengalaman baru ke dalam skema yang ada di pikirannya. Secara sederhana, asimilasi merupakan proses menempatkan dan mengklasifikasikan pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya. Proses ini berlangsung secara terus menerus dan sifatnya individual.
Akomodasi terjadi jika sesorang tidak dapat mengasimilasi pengetahuan baru yang didapat dengan skema yang ada dalam pikiran. Akomodasi merupakan pembentukan skema baru dan memodifikasi skema sehingga pengetahuan baru menjadi memiliki tempat dalam skema pikiran. Misalnya jika seorang anak mengetahui bahwa semua daun berwarna hijau, kemudian dia mendapatkan pengetahuan baru yaitu ada daun yang berwarna merah atau kuning, pengetahuan tersebut tidak cocok dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, sehingga anak tersebut melakukan modifikasi atas pengetahuan yang dimiliki.
Skema-skema yang ada dalam pikiran merupakan proses konstruksi yang terus-menerus berproses baik bertambah ataupun terjadi modifikasi. Walaupun proses tersebut personal, namun tetap terdapat peran lingkungan dalam prosesnya, namun lingkungan hanya sebagai input, proses tetap dilakukan secara individu.
Menurut Suparno (1997:42) konstruktivisme psikologis atau personal memiliki kelemahan, yaitu pengetahuan hanya ada di dalam pikiran seseorang dimana harus dibangun berdasarkan pengalaman pribadinya. Kelemahan ini menjadikan konstruktivisme psikologis cenderung kearah solipsisme, yaitu segala sesuatu hanya ada dipikiran atau dipikirkan.
Kelompok kedua dari macam-macam konstruktivisme adalah konstruktivisme sosial. Konstruktivisme sosial berpendapat bahwa pengetahuan disamping dibangun secara individu, juga ditentukan oleh kelompok dimana individu tersebut berada. Melalui komunikasi dengan kelompok/ lingkungan/ komunitasnya, pengetahuan seseorang disampaikan kepada orang lain sehingga mengalami verifikasi dan penyempurnaan (Suparno, 1997:44).
Dalam dunia pendidikan kedua kelompok konstruktivisme ini akan digunakan, dimana individu melakukan proses konstruksi pengetahuannya secara individu dan juga berinteraksi dengan komunitasnya. Namun, konstruktivisme sosiallah yang lebih banyak berperan dalam pendidikan. Dalam dunia ilmu pengetahuanpun, pengetahuan yang didapat harus disampaikan kepada orang lain untuk mendapatkan verifikasi dan validitas, sehingga ilmu dapat diakui.

B.     Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
Teori konstruktivisme menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran peserta didik harus aktif membangun pengetahuan di dalam pikirannya. Peserta didik yang pasif akan kesulitan untuk membangun pengetahuan dalam pikirannya sekalipun telah diberikan oleh guru. Karena anggapan inilah, dalam pembelajaran peserta didik bertanggungjawab atas proses belajar yang dilakukannya. Guru hanya berperan dalam memotivasi peserta didik untuk memiliki inisiatif dan ketertarikan atas obyek yang dipelajari peserta didik.
Aliran konstruktivisme sangat menghargai apa yang ada di dalam pikiran peserta didik sebelumnya. Pengetahuan seperti apa yang dimiliki peserta didik sebelum memasuki lingkungan belajar sangat diperhitungkan oleh guru. Guru juga akan memperhitungkan strategi dan metode apa yang cocok digunakan untuk menambahkan pengetahuan baru kepada peserta didik.
Pembelajaran yang sesuai dengan aliran konstruktivisme adalah pembelajaran yang memberikan pengalaman langsung sehingga peserta didik berinteraksi secara langsung dengan obyek yang dipelajari (minimal replikanya atau modelnya). Dengan mengamati obyek pembelajaran, peserta didik memiliki pendapat yang jika berlainan dengan pengetahuan sebelumnya, maka akan terjadi disequilibrium.
Menurut Adisusilo (2006:5) disequilibrium adalah goyahnya struktur pengetahuan peserta didik akibat mendapatkan pengetahuan baru yang tidak sesuai dengan pengetahuan sebelumnya. Hal ini akan memaksa peserta didik untuk merekonstruksi pengetahuannya menjadi skema yang lebih baik. Demikianlah seterusnya, skema-skema akan dimodifikasi dan terbentuk dalam proses pembelajaran.
Dalam proses memperoleh pengetahuan diperlukan juga kemampuan mengingat pengalaman, membandingkan dan mengambil keputusan. Kemampuan mengingat erat hubungannya dengan proses asimilasi. Jika ingatan terganggu maka proses menempatkan dan mengklasifikasikan pengetahuan baru menjadi terganggu. Membandingkan dan mengambil keputusan berhubungan dengan proses akomodasi.
Gagasan ringkas mengenai konstruktivisme dapat dinyatakan dalam beberapa poin, yaitu:
1)      Pengetahuan bukan hanya gambaran kenyataan tentang obyek namun merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subyek.
2)      Subyek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur untuk pengetahuan.
3)      Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi akan membenruk pengetahuan bila berhadapan dengan pengalaman (Suparno, 1997:21).
Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang dihadapi dan bukan merupakan akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah bahwa guru tidak dapat secara langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung dengan objek belajar. Pengetahuan diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut. Dengan demikian tugas guru dalam proses pembelajaran adalah menyediakan objek pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dll) untuk dijadikan objek pemaknaan.
Kaum konstruktivis juga berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif, psikomotorik maupun afektif peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru.
Terkait dengan kedua hal di atas, maka dalam proses pembelajaran seorang guru harus menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara sosial kultural untuk para peserta didiknya. Materi pembelajaran harus kontekstual, relevan dan diambil dari pengalaman sosial budaya di sekitar peserta didik berada. Guru tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak terkait dengan kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan penolakan atau menimbulkan kebosanan atau akan menghambat proses perkembangan pengetahuan peserta didik.
Dalam proses pembelajaran guru harus memberi otonomi atau kebebasan kepada peserta didik untuk melakukan eksplorasi masalah dan pemecahannya secara individual dan kolektif, sehingga daya pikirnya dirangsang untuk secara optimal dapat aktif membentuk pengetahuan dan pemaknaan yang baru. Pendidik dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat tinggi seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi dan menyimpulkan.
Guru merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan masalah secara individual dan kolektif sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan rasa tanggungjaawab pribadi.
Dalam proses pembelajaran, guru harus memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi proses dialogis antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan guru, sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan pengetahuan adalah tanggungjawab bersama. Caranya dengan memberikan pertanyaan, tugas yang terkait dengan topik tertentu, yang harus dipecahkan, didalami secara individual ataupun kolektif, kemudian diskusi kelompok, menulis, dialog dan presentasi di depan teman yang lain.

a)      Peran Guru
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang guru mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan pada pendidik yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut (Suparno, 1997: 65-66):
1)      Menyediakan pengalaman belajar, yang memungkinkan peserta didik ikut bertanggungjawab dalam membuat design, proses dan penelitian. Maka menjadi jelas bahwa mengajar model ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
2)      Guru menyediakan pertanyaan atau memberikan kegiatan yang mampu merangsang keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari, membentuk pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir peserta didik secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung belajar peserta didik. Guru hendaknya menyemangati peserta didik dan bukannya sebaliknya. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik. Pengalaman konflik ini dapat berwujud pengalaman anomali yang bertentangan dengan pemikiran atau pengalaman awal peserta didik. Pengalaman seperti ini akan menantang peserta didik untuk berpikir mendalam.
3)      Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik.
Yang perlu diperhatikan dari guru jika menganut pagam konstruktivis ini adalah membiarkan peserta didik menemukan sendiri cara pemecahan masalah yang dihadapi (Adisusilo, 2006:14). Terkadang peserta didik menempuh cara yang kurang rasional dantidak efektif. Guru tidak boleh langsung menyalahkan, tetapi mencoba memberikan atau memberikan stimulus untuk peserta didiknya agar mengetahui alternatif lain cara pemecahan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, ada proses menemukan sendiri jawaban yang sedang dicari. Hal tersebut merupakan pengalaman yang baik untuk bekal ke depan dalam memecahkan permasalahan.
Guru juga dituntut untuk mengetahui banyak hal, sehingga pembelajaran sepanjang masa sangat cocok untuk paham konstruktivisme. Dalam proses penemuan solusi pemecahan, peserta sering kali bertanya banyak hal karena memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Guru dituntut untuk mampu mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan peserta didik.

b)      Metode Pembelajaran
Konstruktivisme tidak hanya berpengaruh kepada model dan metode pembelajaran di kelas, namun juga mempengaruhi kurikulum sampai kepada evaluasi pembelajran. Kurikulum yang menganut paham konstruktivisme akan menyajikan pelajaran dengan utuh (holistik) dengan sangat memperhatikan proses dan hasil (Adisusilo, 2006:15). Termasuk penilaian hasil belajar peserta didik, guru harus juga melakukan penilaian proses, dapat digunakan semacam portofolio kumpulan karya peserta didik. Tidak seperti penilaian yang telah lalu, guru hanya menitik beratkan pada hasil, itupun ranah kognitif saja.
Guru yang telah memahami bagaimana pengetahuan didapatkan peserta didik dan tugasnya dalam mendidik, maka guru dapat merancang metode pembelajaran yang mampu memberikan pengalaman kepada peserta didik. Dalam konstruktivisme, metode yang mampu menyediakan pengalaman belajar yang baik antara lain metode tanya jawab, inkuiri dan komunitas belajar.
Metode tanya jawab dibutuhkan untuk mengukur sejauh mana peserta didik mengenali materi pembelajaran yang akan dipelajari. Dengan bertanya guru juga mampu memberikan motivasi dan rasa ingin tahu sehingga peserta didik lebih antusias dalam belajar. Dibawah ini hal yang dapat diperoleh dari guru dengan metode tanya jawab :
1)      Menggali informasi yang telah diketahui peserta didik
2)      Mengecek pemahaman peserta didik
3)      Membangkitkan motivasi dan respon peserta didik
4)      Mengetahui sejauh mana keinginan peserta didik dalam belajar
5)      Memfokuskan perhatian peserta didik
6)      Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari peserta didik (Adisusilo, 2006:19)
Selanjutnya adalah metode inkuiri yang pada dasarnya menggunakan pendekatan konstruktivistik, dimana setiap siswa sebagai subyek belajar dibebaskan untuk menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara pengetahuan yang telah diketahui dengan fenomena, ide atau informasi baru yang didapatkan. Proses belajar tidak dapat memisahkan antara aktivitas dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis (Saliman, 2010).
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran dengan metode inkuiri adalah merumuskan masalah, mengamati atau observasi, menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya, serta mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain (Saliman, 2010).
Komunitas belajar atau biasa disebut dengan kelompok belajar merupakan pembelajaran dengan mengandalkan kerjasama antara sekelompok peserta didik. Kelompok belajar mampu menumbuhkan suasana kekeluargaan, disiplin, saling membantu dan saling menghormati. Dalam konstruktivisme, kelompok belajar peserta didik beranggotakan anak-anak yang heterogen, ada anak berkemampuan tinggi dan ada yang rendah. Hal tersebut diharapkan ada kerjasama antara anggota kelompok.
Dalam komunitas belajar ini, terdapat langkah-langkah yang guru harus lakukan sehingga metode ini dapat berhasil membelajarkan peserta didik. Langkah-langkah tersebut adalah:
1)      Langkah pertama, peserta didik didorong dan dimotivasi agar mengemukakan pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini dapat dilakukan dengan guru memberikan pertanyaan dan peserta didik diberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan pendapatnya.
2)      Langkah kedua, guru memberikan permasalahan kepada peserta didik. Peserta didik diberi kesempatan untuk menyelidiki dan berdiskusi mencari solusi dari permasalahan.
3)      Langkah ketiga, peserta didik diminta mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya mengenai solusi apa yang diperoleh untuk memecahkan permasalahan. Guru dan peserta didik yang lain menanggapi.
4)      Langkah keempat, guru mengkonfirmasi setiap jawaban dari peserta didik dan bersama-sama menarik kesimpulan dari pembelajaran yang dilakukan.





Bab III
Penutup

A.    Kesimpulan
Konstruktivisme dalam pembelajaran mempengaruhi dari pembentukan kurikulum, perencanaan, pelaksanaan, penilaian hingga evaluasi pembelajaran. Konstruktivisme sangat menitik beratkan tentang apa, dan bagaimana peserta didik mengetahui pengetahuan. Peserta didik akan melakukan rekonstruksi pengetahuan sebelumnya setelah mendapatkan pengetahuan baru yang merupakan interaksi dengan lingkungan belajarnya. Selain mementingkan proses, konstruktivisme juga mementingkan hasil yang di dapatkan oleh peserta didik.

B.     Daftar Pustaka
Adisusilo, S.. 2006. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran.
www.veronikacloset.files.wordpress.com/konstruktivisme (diakses tanggal 11 Januari 2013)

Liza. 2006. Pengantar Filsafat dan Ilmu. Makalah. Cirebon: Program
Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (diakses dari http://www.foxitsoftware.com tanggal 11 Januari 2013)

Saliman. 2011. Pendekatan Inkuiri dalam Pembelajaran. Penelitian.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. (tersedia online http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Saliman,%20Drs.%20M.Pd./PENDEKATAN%20INKUIRI.pdf, diakses tanggal 13 November 2012).

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.
Yogyakarta: Kanisius.

Supardan. 2004. Pendekatan Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
Sosiologi-Antropologi di Sekolah/Madrasah. http://file.upi.edu/makalah_konstruktivisme (diakses tanggal 11 Januari 2013)

Suriasumantri, J.S..2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan